Cacat Hidupmu Menyempurnakanku
Langit jingga sudah beranjak gelap. Handika
masih sibuk dengan semua berkas-berkas yang masih berserakan di atas mejanya.
Semuanya harus ia selesaikan pada hari itu. Ini tak mungkin,pikirnya. Semuanya
membutuhkan konsentrasi dan energi yang cukup banyak, padahal keadaannya sudah
sangat lelah dan penat karena seharian ada rapat di sana-sini. Jam sudah
menunjukkan pukul 16.50, sebentar lagi sudah waktunya untuk pulang,semua sudah
bersiap-siap karena telah selesai bekerja. Sementara itu Handika masih memiliki
banyak tugas. Karena tak bisa berkonsentrasi, ia memutuskan untuk ke pantry dan membuat secangkir kopi. Ia
beristirahat dan menghirup kopinya dengan perlahan. Hal itu bisa membuatnya
lebih baik dan lebih fresh.
Di luar terdengar ribut,ya seperti
biasa menjelang jam pulang selalu lebih gaduh dan ramai karena semua ingin
segera keluar dari tempat tersebut dan menuju ke rumah serta keluarga tercinta.
Handika iri dengan hal tersebut, seharusnya ia juga pulang dan bertemu
keluarganya di rumah. Tapi apa boleh buat,ia harus lembur hari itu, toh
semuanya juga demi keluarga kecilnya di rumah. Ia baru saja menikah,kurang
lebih baru lima bulan ia membangun biduk rumah tangganya dengan Ammy, seorang
wanita yang amat ia cintai. Istri tersebutlah yang selalu menjadi penyemangat
dalam hidupnya, dan menjadi energi positif yang selalu ia hirup tiap detiknya.
“Lho,mas Handika belum
pulang? ” sapa Rahmat.
“Eh,pak Rahmat.Belum
pak,numpuk nih.” eluh Handika.
“Banyak yang belum
selesai ya mas? ” tanya Rahmat.
“Iya pak. Pak Rahat mau
bantu? ” goda Handika.
“Ah, mas Handika ini
bisa saja,saya kan Cuma OB mas,ya mana saya tahu berkas-berkas kayak begituan.”
jawab Rahmat.
“Hahaha, iya pak. Kalau
pak Rahmat mah jagonya bikin kopi yang sip.” gurau Handika.
“Hahaha, iya mas.
Maklum,orang kampung.” jawabnya merendah.
“Justru tanpa pak
Rahmat kami semua bisa lebih repot lo pak. Coba kalau tidak ada pak Rahmat di
sini,semuanya kotor,berantakan, dan tidak ada yang membuatkan kopi untuk kami.”
lanjut Handika.
“Ya sudah mas,saya mau
bersih-bersih ruang rapat. Mas Handika juga harus melanjutkan pekerjaan kan?”
usul Rahmat.
“Iya pak,sudah tidak sabar
bertemu keluarga tercinta di rumah.” timpal Handika.
“Iya
mas,mentang-mentang pengantin baru,pengen pulang terus ya.” sindir Rahmat.
“Hahaha pak Rahmat bisa
saja.” jawab Handika sambil berjalan menjauhi Rahmat.
Handika kembali lagi dihadapkan di
depan meja sempit yang penuh dengan tumpukan kertas. Ia harus berkonsentrasi
dan memusatkan pikirannya. Ia duduk dan terlihat sibuk dengan kertas dan
bolpointnya. Melihat, mengamati, memikirkan lalu menuliskan hasil pemikirannya,
setelah duduk kurang lebih dua jam, akhirnya ia bisa bernafas lega karena telah
menyelesaikan tugasnya tersebut. Ia segera bersiap-siap dan merapikan mejanya
yang tampak berantakan tersebut. Setelah semuanya beres ia segera mengambil tas
dan tancap gas menuju rumah.
Tok tok tok. Handika mengetuk pintu
rumahnya, tapi tak terdengar suara apapun dari dalam. Ia mencoba mengetuk lagi,
dan masih tidak ada suara apapun dari rumahnya. Lalu ia menelpon istrinya.
Ternyata istrinya memang tak ada di rumah,ia pergi keluar bersama
teman-temannya. Handika hanya bisa mengeluh akan hal tersebut, sebenarnya ia
ingin pulang dan disambut manis oleh istrinya,namun apa boleh buat, mungkin
istrinya merasa kesepian di rumah barunya itu. Handika mengambil kunci rumah
yang diletakkan istrinya di bawah pot bunga mawar di depan rumahnya.
Ia masuk dan menyandarkan tubuhnya
di sofa yang terletak di ruang tamunya. Ia sangat lelah, dan akhirnya tertidur.
Ammy pulang sesaat suaminya tertidur, ia memandangi wajah suaminya, terlukiskan
kelelahan dan kerinduan dalam wajah tersebut. Ia mengusap wajah suaminya yang
lusuh itu dan meninggalkannya sendiri di sofa. Ammy segera bergegas ke dapur
dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Karena suaminya belum bangun juga,ia
segera membangunkannya.
“Mas bangun,sudah
malam.” kata Ammy.
“Apa..”kata Handika
yang baru saja terbuka matanya.
“Iya mas,sudah malam.
Cepet mandi gih,keburu dingin.” jelas Ammy.
“Kamu sudah pulang?”
tanya Handika lagi.
“Sudah dari tadi
mas,aku lihat mas tertidur pulas,aku nggak tega membangunkanmu.”kata Ammy dengan
lembut.
“Ya sudah, aku memang
kelelahan,aku mandi dulu.”jawab Handika.
Handikapun bergegas bangun dan
menuju kamar mandi. Sementara itu Ammy menonton TV di ruang tengah. Setelah
Handika selesai mandi mereka makan malam bersama. Ammy melayani suaminya dengan
penuh senyuman yang terpancar dari wajahnya yang sayu. Sementara itu Handika
terlihat bahagia dan sangat menikmati kebersamaan dengan istri tercintanya itu.
Hari yang penat telah berlalu, dan
suasana malam itu begitu hangat bagi sebuah keluarga kecil yang baru
saja dibangun.
Sang mentari telah menampakkan
senyumnya yang sumringah pagi itu, kokok ayam telah memberi irama yang khas
setiap pagi. Membuka mata dan memandang Ammy adalah hal yang paling Handika
sukai semenjak mereka menikah. Ia tak pernah bosan memandang seraut wajah yang
sayu itu. Dalam kesayuan itu terdapat kasih yang dapat menenangkan hatinya.
Handika berjanji akan menjaga dan menemaninya sampai akhir hayatnya. Ammy pun membuka
matanya, ia melihat senyuman manis yang terpancar dari wajah suaminya.
“Maaf mas,aku selalu
terlambat bangun.”kata Ammy penuh sesal.
“Nggak apa-apa sayang.
Memandangmu tiap pagi adalah obat penyemangat bagiku.” gurau Handika.
“Ah,mas selalu
begitu.”jawab Ammy dengan senyum manisnya.
“Ya sudah,ayo bangun,tuh
lihat di luar sudah terang benderang.”kata Handika.
Setelah mandi dan sarapan, Handika
berangkat ke kantor dengan semangat. Baginya menghabiskan malam dengan istrinya
adalah charge yang dapat mengisi
penuh semangat dan energinya. Jalanan yang macet tak begitu menjadi masalah
baginya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan kota tempat ia lahir dan
dibesarkan. Perjalanan dari rumah dan kantor membutuhkan waktu kurang lebih
satu jam. Sebenarnya perjalanan tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar 15
menit, tapi karena rutinitas yang begitu padat dan banyak, maka terjadi macet
dan menambah waktu tempuh menjadi lebih lama. Jam 07.00 tepat Handika sampai di
kantornya, ia segera menuju ruangannya tanpa mampir kesana-kemari. Ia tidak
ingin lembur seperti kemarin, ia ingin pulang lebih awal.
Pagi yang cerah telah berganti
menjadi senja mendung disertai gerimis. Hujan rintik yang jatuh dari langit itu
datang saat menjelang jam pulang kantor. Hal itu tentu saja membuat para
karyawan di kantor Handika dan karyawan di perusahaan lain terganggu. Semua
terlihat kesal dan wajah yang kecewa. Mereka sama halnya dengan manusia-manusia
lain yang malas kena air hujan. Hujanpun selalu dikaitkan dengan sebuah
tangisan dan kesedihan, mungkin hal ini juga yang memengaruhi semua pikiran manusia
sehingga menyebut hujan adalah sebuah penghalang aktivitas. Padahal hujan
adalah sebuah rahmat dari Tuhan.
“Sial,!Kenapa
harus hujan,padahal aku kan bisa langsung pulang jika tak hujan.”gerutu
Handika.
“Handika,ayo
pulang.”sapa Trian.
Trian adalah teman baik Handika,ia
adalah orang yang bisa membuat Handika bekerja di perusahaan sebesar ini.
Sebenarnya Trian adalah atasan Handika, namun karena mereka telah berteman
sejak kecil, maka tidak ada sama sekali jurang pemisah antara si bos dan si
anak buah antara Trian dan Handika. Trian adalah anak konglomerat sekaligus
pemilik perusahaan ini, sehingga dengan mudah ia bisa memasukkan teman baikknya
yang mempunyai potensi dan kemampuan yang bagus seperti Handika.
“Gimana aku bisa
pulang, di luar hujan dan kayaknya makin deras.”jawab Handika dengan nada
datar.
“Memangnya kalau hujan
kenapa,kamu bukan kucing yang takut dengan air kan?”gurau Trian.
“Sialan kamu Trian,aku
kan masih naik motor,gak kayak kamu yang dengan santainya diantar jemput sama
supir.”sindir Handika.
“Makanya,beli
donk.”lanjut Trian.
“Pengennya ya gitu
Tri,tapi apa boleh buat,belum ada modal. Ya udah cepet pulang sana,tuh supir
udah nungguin.”sindir Handika lagi.
“Hahaha. Ya udah,aku
duluan ya.”jawab Trian sambil melambaikan tangannya.
Trian berlalu dengan mobil mewahnya,
sementara itu Handika hanya bisa meratapi hujan yang turun dengan harapan agar
hujan segera berhenti. Namun harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Hujan
justru semakin lebat,disertai desiran angin yang membuat suasana manjadi
menyeramkan. Handika langsung teringat dengan istrinya yang tadi berpamitan
akan berbelanja di supermarket sore itu. Ia langsung menghubungi istrinya.
Tidak ada suara istrinya di seberang sana,hanya ada suara dering ponsel seperti
biasanya. Beberapa kali Handika mencoba menghubugi istrinya,namun tetap saja
tidak ada jawaban, bahkan sekarang ponsel istrinya tidak lagi aktif. Handika
menjadi cemas dan tida-tiba diliputi perasaan yang kacau. Lalu ia putuskan
untuk menerobos hujan dan pulang ke rumahnya.
Setibanya di rumah Handika langsung
mengetok pintu,ternyata pintu masih terkunci rapat dan tak terdengar suara
apapun dari dalam rumahnya. Ia juga tak menemukan sosok yang dikhawatirkannya
itu. Handika semakin cemas dan kacau. Ia mencoba menghubungi istrinya lagi,
tapi ponselnya tetap tidak aktif. Handika benar-benar bingung,ia tak tahu harus
berbuat apa, sementara dalam hatinya bertanya-tanya. Dimanakah istriku? Apa
yang sedang ia lakukan? Amankah dia? Handika hanya bisa mengandai-andai, semoga
saja istrinya itu baik-baik saja. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, tertera nomor
istrinya dalam ponsel itu. Handika langsung saja menyerobot dan mengangkat
ponselnya. Terdengar suara lelaki dari seberang sana. Handika kaget, ia tak mau
berburuk sangka.
“Halo.”kata suara
lelaki itu.
“Iya halo, maaf ini
siapa?”jawab Handika keheranan.
“Maaf pak, apa benar
anda keluarga dari saudara Ammy? Saudara Ammy saat ini dalam kondisi kritis,dia
mengalami kecelakaan motor. Sekarang ia dirawat di RS Anggrek di Jln.Basuki
Rahmat.”jelas lelaki itu.
Handika kaget, ia langsung
menjatuhkan ponselnya. Ia takut terjadi apa-apa dengan belahan jiwanya itu. Ia
segera berlari menaiki motornya dan bergegas menuju rumah sakit. Ketika sampai
di rumah sakit, ia langsung bertanya ke receptionis
dan berlari sekuat tenaga mencari ruang ICU. Dia semakin takut saat melihat
tubuh Ammy tergolek lemas di atas ranjang operasi. Ya Tuhan, apa yang terjadi
dengan istriku, semoga tidak akan terjadi apa-apa dengannya, kata Handika dalam
hati.
Setelah beberapa waktu mondar-mandir
di depan ruang itu senirian, akhirnya dokter keluar dengan wajah yang tampak
kelelahan.
“Dok,bagaimana keadaan
Ammy?”tanya Handika tak sabar.
“Anda
keluarganya?”jawab dokter singkat.
“Iya dok,saya
Handika,suaminya.Dia tak apa-apa kan dok?”tanya Handika lagi.
“Maaf, nampaknya istri
bapak mengalami kecelakakaan yang cukup hebat. Kakinya kirinya patah, sementara
kaki kanannya retak parah dan harus diamputasi, ia akan sulit berjalan.”jelas
dokter.
Handika tak mampu berkata sepatah
katapun. Ia hanya diam dan menangis akan hal tersebut. Sekujur tubuhnya
melemas, seakan hilang semua tulang-belulangnya. Pikirannya sangat kacau, kacau
sekali. Ia tak tahu harus berbuat apa, sementara istrinya dalam kondisi kritis
di dalam. Ammy pun telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Sudah beberapa hari
ini istrinya itu dirawat, Handika selalu setia menjaga dan menemani istri
tercintanya itu. Ammy sangat terkejut mendapati kedua kakinya yang tak bisa
lagi digerakkan. Dia menjarit histeris dan hilang kendali,dia takut tidak bisa
melayani suaminya lagi. Handika harus bisa menenangkan istrinya, ia harus
menjadi lebih kuat dengan keadaan ini. Akhirnya tiba waktunya Ammy pulang.
“Mas,maafkan aku.”kata
Ammy pelan setelah sampai di rumah.
“Kamu nggak
salah.”jawab Handika penuh kelembutan.
“Aku tak akan bisa
menjadi istri yang baik. Aku nggak akan bisa melayanimu lagi mas?”lanjut Ammy.
“Kamu akan selalu jadi
yang terbaik untukku sayang. Kamu segalanya, kamulah pelengkap tulang rusukku
Ammy,tanpamu aku akan lebih tak berarah.”jawab Handika.
“Itu dulu mas,tapi
sekarang, apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri yang hanya bisa duduk di
kursi roda?”tanya Ammy.
Handika tak menjawab, ia langsung
memeluk istrinya dengan penuh kehangatan. Mungkin itulah jawaban paling pas untuk
pertanyaan istrinya itu. Ammy hanya bisa menangis dan membalas pelukan hangat
suaminya itu. Walaupun Ammy dalam keadaan seperti ini, ia rela melayaninya. Ia
rela berkorban demi kebahagiaan Ammy. Ammy harus selalu ditemani, ia belum
terbiasa menjalani kehidupan seperti ini. Handika harus lebih sabar menerima
semua ini. Ia harus menjadi penopang bagi kaki dan kehidupan Ammy. Handika
berjanji tak akan pernah meninggalkan Ammy dalam keadaan apapun. Kelumpuhan
Ammy akan menjadikannya seorang suami yang lebih kuat dan lebih tabah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar