Sabtu, 18 Mei 2013

cerpen remaja


Cacat Hidupmu Menyempurnakanku

            Langit jingga sudah beranjak gelap. Handika masih sibuk dengan semua berkas-berkas yang masih berserakan di atas mejanya. Semuanya harus ia selesaikan pada hari itu. Ini tak mungkin,pikirnya. Semuanya membutuhkan konsentrasi dan energi yang cukup banyak, padahal keadaannya sudah sangat lelah dan penat karena seharian ada rapat di sana-sini. Jam sudah menunjukkan pukul 16.50, sebentar lagi sudah waktunya untuk pulang,semua sudah bersiap-siap karena telah selesai bekerja. Sementara itu Handika masih memiliki banyak tugas. Karena tak bisa berkonsentrasi, ia memutuskan untuk ke pantry dan membuat secangkir kopi. Ia beristirahat dan menghirup kopinya dengan perlahan. Hal itu bisa membuatnya lebih baik dan lebih fresh.

            Di luar terdengar ribut,ya seperti biasa menjelang jam pulang selalu lebih gaduh dan ramai karena semua ingin segera keluar dari tempat tersebut dan menuju ke rumah serta keluarga tercinta. Handika iri dengan hal tersebut, seharusnya ia juga pulang dan bertemu keluarganya di rumah. Tapi apa boleh buat,ia harus lembur hari itu, toh semuanya juga demi keluarga kecilnya di rumah. Ia baru saja menikah,kurang lebih baru lima bulan ia membangun biduk rumah tangganya dengan Ammy, seorang wanita yang amat ia cintai. Istri tersebutlah yang selalu menjadi penyemangat dalam hidupnya, dan menjadi energi positif yang selalu ia hirup tiap detiknya.

“Lho,mas Handika belum pulang? ” sapa Rahmat.

“Eh,pak Rahmat.Belum pak,numpuk nih.” eluh Handika.

“Banyak yang belum selesai ya mas? ” tanya Rahmat.

“Iya pak. Pak Rahat mau bantu? ” goda Handika.

“Ah, mas Handika ini bisa saja,saya kan Cuma OB mas,ya mana saya tahu berkas-berkas kayak begituan.” jawab Rahmat.

“Hahaha, iya pak. Kalau pak Rahmat mah jagonya bikin kopi yang sip.” gurau Handika.

“Hahaha, iya mas. Maklum,orang kampung.” jawabnya merendah.

“Justru tanpa pak Rahmat kami semua bisa lebih repot lo pak. Coba kalau tidak ada pak Rahmat di sini,semuanya kotor,berantakan, dan tidak ada yang membuatkan kopi untuk kami.” lanjut Handika.

“Ya sudah mas,saya mau bersih-bersih ruang rapat. Mas Handika juga harus melanjutkan pekerjaan kan?” usul Rahmat.

“Iya pak,sudah tidak sabar bertemu keluarga tercinta di rumah.” timpal Handika.

“Iya mas,mentang-mentang pengantin baru,pengen pulang terus ya.” sindir Rahmat.

“Hahaha pak Rahmat bisa saja.” jawab Handika sambil berjalan menjauhi Rahmat.

            Handika kembali lagi dihadapkan di depan meja sempit yang penuh dengan tumpukan kertas. Ia harus berkonsentrasi dan memusatkan pikirannya. Ia duduk dan terlihat sibuk dengan kertas dan bolpointnya. Melihat, mengamati, memikirkan lalu menuliskan hasil pemikirannya, setelah duduk kurang lebih dua jam, akhirnya ia bisa bernafas lega karena telah menyelesaikan tugasnya tersebut. Ia segera bersiap-siap dan merapikan mejanya yang tampak berantakan tersebut. Setelah semuanya beres ia segera mengambil tas dan tancap gas menuju rumah.

            Tok tok tok. Handika mengetuk pintu rumahnya, tapi tak terdengar suara apapun dari dalam. Ia mencoba mengetuk lagi, dan masih tidak ada suara apapun dari rumahnya. Lalu ia menelpon istrinya. Ternyata istrinya memang tak ada di rumah,ia pergi keluar bersama teman-temannya. Handika hanya bisa mengeluh akan hal tersebut, sebenarnya ia ingin pulang dan disambut manis oleh istrinya,namun apa boleh buat, mungkin istrinya merasa kesepian di rumah barunya itu. Handika mengambil kunci rumah yang diletakkan istrinya di bawah pot bunga mawar di depan rumahnya.

            Ia masuk dan menyandarkan tubuhnya di sofa yang terletak di ruang tamunya. Ia sangat lelah, dan akhirnya tertidur. Ammy pulang sesaat suaminya tertidur, ia memandangi wajah suaminya, terlukiskan kelelahan dan kerinduan dalam wajah tersebut. Ia mengusap wajah suaminya yang lusuh itu dan meninggalkannya sendiri di sofa. Ammy segera bergegas ke dapur dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Karena suaminya belum bangun juga,ia segera membangunkannya.

“Mas bangun,sudah malam.” kata Ammy.

“Apa..”kata Handika yang baru saja terbuka matanya.

“Iya mas,sudah malam. Cepet mandi gih,keburu dingin.” jelas Ammy.

“Kamu sudah pulang?” tanya Handika lagi.

“Sudah dari tadi mas,aku lihat mas tertidur pulas,aku nggak tega membangunkanmu.”kata Ammy dengan lembut.

“Ya sudah, aku memang kelelahan,aku mandi dulu.”jawab Handika.

            Handikapun bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Sementara itu Ammy menonton TV di ruang tengah. Setelah Handika selesai mandi mereka makan malam bersama. Ammy melayani suaminya dengan penuh senyuman yang terpancar dari wajahnya yang sayu. Sementara itu Handika terlihat bahagia dan sangat menikmati kebersamaan dengan istri tercintanya itu. Hari yang penat telah berlalu, dan  suasana malam itu begitu hangat bagi sebuah keluarga kecil yang baru saja dibangun.

            Sang mentari telah menampakkan senyumnya yang sumringah pagi itu, kokok ayam telah memberi irama yang khas setiap pagi. Membuka mata dan memandang Ammy adalah hal yang paling Handika sukai semenjak mereka menikah. Ia tak pernah bosan memandang seraut wajah yang sayu itu. Dalam kesayuan itu terdapat kasih yang dapat menenangkan hatinya. Handika berjanji akan menjaga dan menemaninya sampai akhir hayatnya. Ammy pun membuka matanya, ia melihat senyuman manis yang terpancar dari wajah suaminya.

“Maaf mas,aku selalu terlambat bangun.”kata Ammy penuh sesal.

“Nggak apa-apa sayang. Memandangmu tiap pagi adalah obat penyemangat bagiku.” gurau Handika.

“Ah,mas selalu begitu.”jawab Ammy dengan senyum manisnya.

“Ya sudah,ayo bangun,tuh lihat di luar sudah terang benderang.”kata Handika.

            Setelah mandi dan sarapan, Handika berangkat ke kantor dengan semangat. Baginya menghabiskan malam dengan istrinya adalah charge yang dapat mengisi penuh semangat dan energinya. Jalanan yang macet tak begitu menjadi masalah baginya. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan kota tempat ia lahir dan dibesarkan. Perjalanan dari rumah dan kantor membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Sebenarnya perjalanan tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, tapi karena rutinitas yang begitu padat dan banyak, maka terjadi macet dan menambah waktu tempuh menjadi lebih lama. Jam 07.00 tepat Handika sampai di kantornya, ia segera menuju ruangannya tanpa mampir kesana-kemari. Ia tidak ingin lembur seperti kemarin, ia ingin pulang lebih awal.

            Pagi yang cerah telah berganti menjadi senja mendung disertai gerimis. Hujan rintik yang jatuh dari langit itu datang saat menjelang jam pulang kantor. Hal itu tentu saja membuat para karyawan di kantor Handika dan karyawan di perusahaan lain terganggu. Semua terlihat kesal dan wajah yang kecewa. Mereka sama halnya dengan manusia-manusia lain yang malas kena air hujan. Hujanpun selalu dikaitkan dengan sebuah tangisan dan kesedihan, mungkin hal ini juga yang memengaruhi semua pikiran manusia sehingga menyebut hujan adalah sebuah penghalang aktivitas. Padahal hujan adalah sebuah rahmat dari Tuhan.

“Sial,!Kenapa harus hujan,padahal aku kan bisa langsung pulang jika tak hujan.”gerutu Handika.

“Handika,ayo pulang.”sapa Trian.

            Trian adalah teman baik Handika,ia adalah orang yang bisa membuat Handika bekerja di perusahaan sebesar ini. Sebenarnya Trian adalah atasan Handika, namun karena mereka telah berteman sejak kecil, maka tidak ada sama sekali jurang pemisah antara si bos dan si anak buah antara Trian dan Handika. Trian adalah anak konglomerat sekaligus pemilik perusahaan ini, sehingga dengan mudah ia bisa memasukkan teman baikknya yang mempunyai potensi dan kemampuan yang bagus seperti Handika.

“Gimana aku bisa pulang, di luar hujan dan kayaknya makin deras.”jawab Handika dengan nada datar.

“Memangnya kalau hujan kenapa,kamu bukan kucing yang takut dengan air kan?”gurau Trian.

“Sialan kamu Trian,aku kan masih naik motor,gak kayak kamu yang dengan santainya diantar jemput sama supir.”sindir Handika.

“Makanya,beli donk.”lanjut Trian.

“Pengennya ya gitu Tri,tapi apa boleh buat,belum ada modal. Ya udah cepet pulang sana,tuh supir udah nungguin.”sindir Handika lagi.

“Hahaha. Ya udah,aku duluan ya.”jawab Trian sambil melambaikan tangannya.

            Trian berlalu dengan mobil mewahnya, sementara itu Handika hanya bisa meratapi hujan yang turun dengan harapan agar hujan segera berhenti. Namun harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Hujan justru semakin lebat,disertai desiran angin yang membuat suasana manjadi menyeramkan. Handika langsung teringat dengan istrinya yang tadi berpamitan akan berbelanja di supermarket sore itu. Ia langsung menghubungi istrinya. Tidak ada suara istrinya di seberang sana,hanya ada suara dering ponsel seperti biasanya. Beberapa kali Handika mencoba menghubugi istrinya,namun tetap saja tidak ada jawaban, bahkan sekarang ponsel istrinya tidak lagi aktif. Handika menjadi cemas dan tida-tiba diliputi perasaan yang kacau. Lalu ia putuskan untuk menerobos hujan dan pulang ke rumahnya.

            Setibanya di rumah Handika langsung mengetok pintu,ternyata pintu masih terkunci rapat dan tak terdengar suara apapun dari dalam rumahnya. Ia juga tak menemukan sosok yang dikhawatirkannya itu. Handika semakin cemas dan kacau. Ia mencoba menghubungi istrinya lagi, tapi ponselnya tetap tidak aktif. Handika benar-benar bingung,ia tak tahu harus berbuat apa, sementara dalam hatinya bertanya-tanya. Dimanakah istriku? Apa yang sedang ia lakukan? Amankah dia? Handika hanya bisa mengandai-andai, semoga saja istrinya itu baik-baik saja. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, tertera nomor istrinya dalam ponsel itu. Handika langsung saja menyerobot dan mengangkat ponselnya. Terdengar suara lelaki dari seberang sana. Handika kaget, ia tak mau berburuk sangka.

“Halo.”kata suara lelaki itu.

“Iya halo, maaf ini siapa?”jawab Handika keheranan.

“Maaf pak, apa benar anda keluarga dari saudara Ammy? Saudara Ammy saat ini dalam kondisi kritis,dia mengalami kecelakaan motor. Sekarang ia dirawat di RS Anggrek di Jln.Basuki Rahmat.”jelas lelaki itu.

            Handika kaget, ia langsung menjatuhkan ponselnya. Ia takut terjadi apa-apa dengan belahan jiwanya itu. Ia segera berlari menaiki motornya dan bergegas menuju rumah sakit. Ketika sampai di rumah sakit, ia langsung bertanya ke receptionis dan berlari sekuat tenaga mencari ruang ICU. Dia semakin takut saat melihat tubuh Ammy tergolek lemas di atas ranjang operasi. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan istriku, semoga tidak akan terjadi apa-apa dengannya, kata Handika dalam hati.

            Setelah beberapa waktu mondar-mandir di depan ruang itu senirian, akhirnya dokter keluar dengan wajah yang tampak kelelahan.

“Dok,bagaimana keadaan Ammy?”tanya Handika tak sabar.

“Anda keluarganya?”jawab dokter singkat.

“Iya dok,saya Handika,suaminya.Dia tak apa-apa kan dok?”tanya Handika lagi.

“Maaf, nampaknya istri bapak mengalami kecelakakaan yang cukup hebat. Kakinya kirinya patah, sementara kaki kanannya retak parah dan harus diamputasi, ia akan sulit berjalan.”jelas dokter.

            Handika tak mampu berkata sepatah katapun. Ia hanya diam dan menangis akan hal tersebut. Sekujur tubuhnya melemas, seakan hilang semua tulang-belulangnya. Pikirannya sangat kacau, kacau sekali. Ia tak tahu harus berbuat apa, sementara istrinya dalam kondisi kritis di dalam. Ammy pun telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Sudah beberapa hari ini istrinya itu dirawat, Handika selalu setia menjaga dan menemani istri tercintanya itu. Ammy sangat terkejut mendapati kedua kakinya yang tak bisa lagi digerakkan. Dia menjarit histeris dan hilang kendali,dia takut tidak bisa melayani suaminya lagi. Handika harus bisa menenangkan istrinya, ia harus menjadi lebih kuat dengan keadaan ini. Akhirnya tiba waktunya Ammy pulang.

“Mas,maafkan aku.”kata Ammy pelan setelah sampai di rumah.

“Kamu nggak salah.”jawab Handika penuh kelembutan.

“Aku tak akan bisa menjadi istri yang baik. Aku nggak akan bisa melayanimu lagi mas?”lanjut Ammy.

“Kamu akan selalu jadi yang terbaik untukku sayang. Kamu segalanya, kamulah pelengkap tulang rusukku Ammy,tanpamu aku akan lebih tak berarah.”jawab Handika.

“Itu dulu mas,tapi sekarang, apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri yang hanya bisa duduk di kursi roda?”tanya Ammy.

            Handika tak menjawab, ia langsung memeluk istrinya dengan penuh kehangatan. Mungkin itulah jawaban paling pas untuk pertanyaan istrinya itu. Ammy hanya bisa menangis dan membalas pelukan hangat suaminya itu. Walaupun Ammy dalam keadaan seperti ini, ia rela melayaninya. Ia rela berkorban demi kebahagiaan Ammy. Ammy harus selalu ditemani, ia belum terbiasa menjalani kehidupan seperti ini. Handika harus lebih sabar menerima semua ini. Ia harus menjadi penopang bagi kaki dan kehidupan Ammy. Handika berjanji tak akan pernah meninggalkan Ammy dalam keadaan apapun. Kelumpuhan Ammy akan menjadikannya seorang suami yang lebih kuat dan lebih tabah.